Perkembangan bisnis dalam tiga tahun terakhir ini berubah dengan cepat. Banyak bisnis baru bertumbuh, tapi banyak pula bisnis yang tida...
Perkembangan bisnis dalam tiga
tahun terakhir ini berubah dengan cepat. Banyak bisnis baru bertumbuh, tapi
banyak pula bisnis yang tidak dapat bertahan. Di Kota Bandung, sebagai salah
satu kota kreatif di Indonesia, pertumbuhan bisnis dapat dilihat dengan kasat
mata. Semakin banyaknya tawaran produk dan jasa layanan di sosial media, serta
makin menariknya roda-roda di kaki lima membuat konsumen terkadang bingung
dengan membanjirnya tawaran yang ada. Terlebih bagi para pebisnis yang telah
lebih dahulu lahir, fenomena ini menjadi ancaman bahkan tantangan.
Dalam diskusi dengan beberapa
rekan, pola bisnis sekarang, ternyata tidak hanya sekedar menawarkan produk
yang menarik, akan tetapi juga lengkap dengan berbagai cerita di balik produk.
Sehingga seringkali pebisnis pemula kebingungan dalam mencari apa nilai tambah
dari bisnis yang ditawarkan. Sebagai pelaku bisnis sosial, hal ini juga saya
alami. Selama ini kita selalu berfikir bahwa bisnis yang baik haruslah
menampilkan produk yang baik, sehingga segala yang berkaitan dengan produk akan
kita upayakan dengan maksimal. Jika produk yang dihasilkan adalah makanan, maka
selain rasa, dan tampilan, kemasan menjadi point penting yang kita usahakan.
Walaupun ada pepatan yang mengatakan “Don’t judge the book by the cover”, akan
tetapi untuk bisnis makanan kemasan layaknya busana bagi produk yang kita
tawarkan, sehingga jasa rumah kemas menjadi salah satu yang dibutuhkan.
Toh begitu kita sudah memperoleh
paket komplit untuk tampilan produk kita, ternyata, bisnis tidak serta merta
tumbuh pesat. Seorang teman yang telah melakukan investasi besar untuk produk
kopi instant yang dibuatnya, tidak dapat mengambil “kue” pada pasar kopi
instant yang beredar. Padahal untuk investasi kemasan saja, tidak kurang dari
Rp 50.000.000 sudah dikeluarkan. Akan tetapi, seorang teman yang lain, cukup
bermodal bahan baku, peralatan seadanya serta kemasan biasa, sudah dapat memasarkan
kue kering dengan permintaan yang tinggi.
Satu hal yang berbeda, ternyata
adalah titik awal bisnis yang dijalankan. Teman yang satu mulai dari produk,
dan teman yang lain memulai dari pasar. Teman yang berbisnis kopi ini melihat
permintaan kopi yang tinggi serta mencoba peruntungan bisnis kopi dengan
mengandalkan jalur distribusi formal sebagaimana selama ini dijalankan. Sedangkan
teman yang berjualan kue kering ini memiliki komunitas ibu-ibu dari anak
penyandang difabel yang menjadi produsen kue kering, serta memiliki komunitas
di Jakarta yang kemudian menjadi pasar bagi produk kue kering. Dia melihat
bahwa rekan-rekannya di Jakarta adalah penikmat makanan sehat, sehingga dapat
dijadikan sebagai calon konsumen dari produknya.
Bahkan bukan hanya memasarkan
produk di komunitas, akan tetapi keberadaan sosial media juga menjadi salah
satu sarana untuk memasarkan produk. Saat ini setelah dua bulan berproduksi,
mulailah dilakukan perbaikan kemasan, bahkan untuk memenuhi pesanan, jika
sebelumnya para ibu memproduksi kue dengan “otang” oven tangkring, dalam dua
bulan oven gas kapasitas besar sudah mulai terbeli.
Saya teringat pada buku Marketing 3.0: Values-Driven Marketing”
Philip Kotler yang menyatakan bahwa perusahaan
seharusnya tidak hanya memasarkan produk dengan manfaat fungsional ataupun
manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual. Sehingga
bisnis saat ini tidak hanya menawarkan produk yang baik, serta manfaat fungsional,
tetapi juga manfaat spiritual. Artinya konsumen saat ini akan lebih menyukai
bahwa dia membeli produk tidak hanya sekedar enak, tetapi juga memberikan
manfaat bagi orang lain.
Mungkin konsep ini masih
debatable, akan tetapi inilah konsep bisnis masa depan. Bagi kita pun, akan
sangat senang jika dapat membeli produk dengan tampilan dan kualitas yang baik,
serta memberi peluang bagi kita dapat bermanfaat untuk orang lain. Dengan kata
lain, sambil bisnis, sambil beramal pula.
Bandung, 4 Mei 2015
geus wayah na sigana mah ceu meta :)
ReplyDeleteleres pisan carios pa kotler