Dok pribadi Pagi ini saya memutuskan sarapan pecel, dari tukang pecel langganan yang jaraknya 1 km dari rumah. Karena Teteh harus masuk ja...
Dok pribadi |
Pagi ini saya memutuskan sarapan pecel, dari tukang pecel langganan yang jaraknya 1 km dari rumah. Karena Teteh harus masuk jam 10, saya bergegas berangkat.
Setiba di tukang pecel, ternyata penuh. Tidak mau menunggu lama, saya menuju tukang pecel satu lagi. Teteh penjual pecel tampak duduk termangu menunggu pembeli. Pemandangan yang sangat kontras. Satu pedagang penuh dikerumuni pembeli, yang satunya duduk menunggu pembeli.
Soal rasa, tidak jauh berbeda. Harga jual, lebih mahal yang pertama beda seribu rupiah. Pecel di pedagang pertama harganya Rp 8.000, di pedagang kedua, Rp 8.000.
Pedagang pertama harganya lebih mahal dari pedagang kedua. Tetapi kok lebih ramai? Dalam bisnis ada mitos bahwa penjual yang ramai biasanya pakai penglaris. Artikel tentang penglaris ini ramai juga ditulis beberapa media online akhir-akhir ini. Sehingga seringkali muncul pertanyaan, apakah berjualan supaya ramai itu harus pakai penglaris?
Dari sisi harga, pedagang kedua lebih unggul, tapi kok lebih ramai? Padahal sama-sama jualan pecel.
Sekilas tampilan pedagang pertama lebih rapi, lokasi berjualan lebih nyaman, dan variasi dagangan pun lebih banyak. Sedangkan pedagang kedua, tempat agak sulit dijangkau kalau pakai mobil, variasi terbatas, walau harga lebih murah.
Saya jadi teringat pedagang kuliner lain di tempat tinggal saya. Dia menjual nasi goreng dengan porsi lumayan besar. Soal rasa "B" aja. Tidak terlalu istimewa. Tapi porsi besar ini jadi penarik konsumen. Setiap harinya pembeli lumayan ramai.
Ada juga pedagang yang rutin datang ke rumah, walau sebetulnya dagangannya kurang menarik. Kadang saya membelinya karena kasihan. Tapi kasihan itu bakal jadi hal yang tidak baik, kalau datangnya setiap hari. Karena bisa jadi konsumen malah jadi tidak ikhlas.
Jadi ingat diskusi dengan seorang senior tentang strategi pemasaran. Di awal, bisa jadi seorang pelaku usaha akan memasarkan produk pada konsumen yang dia kenal. Teman, tetangga, saudara, dengan harapan produk dibeli walau kualitas "B" aja. Tapi seiring berjalan harus ada nilai tambah yg ditawarkan. Kalau makanan, buat saya ya harus enak. Pernah sekali saya beli kue yang rasanya gak karuan, digigit pun tidak bisa. Kesal pasti pas memakannya. Dan besoknya sy bilang ke yang menjual supaya memperhatikan kualitas dagangannya.
Bisnis adalah transaksi antara penjual dan pembeli. Pembeli merelakan uangnya untuk membeli produk sesuai harapan. Dan penjual memberikan produk beserta layanan sesuai harapan pembeli.
Sebungkus pecel, hari ini menjadi sebuah pembelajaran bagaimana transaksi itu akan terjadi. Sehingga untuk meraih hati konsumen, perlu ada keunggulan yang ditawarkan walau sebungkus pecel.
Adalah pilihan bisnis model apa yang akan kita pakai. Tapi dalam bisnis, yang kita beli adalah rasa senang konsumen. Tentunya dalam batas yang wajar. Karena saat konsumen senang, rejeki pun datang.
COMMENTS